1.
Keadaan Sosial Budaya pada Masa Kabinet Natsir
Keadaan Sosial Budaya pada Masa Kabinet Natsir
Program dari Kabinet Natsir adalah :
1. Menggiatkan
usaha keamanan dan ketentraman.
2. Mencapai
konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3. Menyempurnakan
organisasi Angkatan Perang.
4. Mengembangkan
dan memperkuat ekonomi rakyat.
5. Memperjuangkan
penyelesaian masalah Irian Barat.
Pasca proklamasi kemerdekaan banyak terjadi perubahan
sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada khususnya.
Dikarenakan sebelum kemerdekaan di proklamirkan, di dalam kehidupan bangsa
Indonesia ini telah terjadi diskriminasi rasial dengan membagi kelas-kelas
masyarakat. Yang mana masyrakat di Indonesia sebelum kemerdekaan di dominasi
oleh warga Eropa dan Jeoang sehingga warga pribumi hanyalah masyarakat rendahan
yang kebanyakan hanya menjadi budak dari bangsawan atau penguasa.
Tetapi setelah 17 Agustus 1945 segala bentuk
diskriminasi rasial dihapuskan dari bumi bangsa Indonesia dan semua warga
negara Indonesia dinyatakan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam segala
bidang.
1. Pendidikan.
Pada
tahun 1950, menteri pendidikan pada masa itu, Dr. Abu Hannifah, menyusun konsep
pendidikan yang menitikberatkan pada spesialisasi. Yaitu akan diadakan
pendidikan umum dan pendidikan teknik yang dalam pelaksanaannya memiliki
perbandingan 3 : 1. Selain itu, karena Indonesia adalah negara kepulauan, maka
di beberapa kota diadakan Akademik Pelayaran, Akademik Oseanografi, dan
Akademik Research Laut yang didirikan di kota Surabaya, Makassar, Ambon,
Manado, Padang, dan Palembang. Lalu, didirikan juga Sekolah Tinggi Pertanian
Bogor
2. Seni
Pada
tanggal 27 Agustus 1950 di Surakarta, didirikan Konservatori Karawitan dengan
tujuan untuk mempertinggi serta mengembangkan karawitan.
2.
Dampak
Positif dan Negatif MSA Kabinet Sukiman
Dampak Positif Kabinet Sukiman :
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan
program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman
Dampak Negatif Kabinet Sukiman :
1. Adanya Pertukaran
Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta
Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan
militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual
Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik
luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan
Amerika. Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar
negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan
dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
2. Adanya
krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
3. Masalah
Irian barat belum juga teratasi.
4. Hubungan
Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan
pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan.
3.
Peristiwa Tanjung Morawa pada Masa Kabinet Wilopo
Peristiwa Tanjung Morawa pada Masa Kabinet Wilopo
a. Latar
belakang
Peristiwa
Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh adanya ketidakpuasan petani yang
hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh pemerintah dalam hal ini oleh
Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena proses dan hasil yang diperoleh
sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah mereka tempati sebelumnya.
Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi demonstrasi untuk menggagalkan
pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat reaksi baik dari pemerintah
pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena peristiwa itulah golongan yang
anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mencela
tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari SAKTI (Sarekat Tani
Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak percaya kepada cabinet dan
sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
b. Kronologi
Peristiwa
Pada
tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatera
Timur merencanakan untuk mencetak sawah percontohan
di bekas areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian,Tanjung
Morawa. Akan tetapi areal perkebunan itu sudah ditempati oleh penggarap
liar. Di antara mereka terdapat beberapa imigran gelap Cina. Usaha pemerintah untuk
memindahkan para penggarap dengan memberi ganti rugi dan menyediakan lahan
pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI),
organisasi massa PKI.
Oleh karena cara musyawarah gagal, maka pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah
terpaksa mentraktor areal tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk
menggagalkan usaha pentraktoran, BTI mengerahkan massa yang sudah mereka
pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar Tanjung Morawa. Mereka
bertindak brutal. Polisi melepaskan tembakan
peringatan ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka berusaha merebut
senjata polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal dan luka-luka.
4.
Alasan Terdapat Koalisi PNI dan NU dan Oposisi Masyumi pada Masa Kabinet Sastroamijoyo
Alasan Terdapat Koalisi PNI dan NU dan Oposisi Masyumi pada Masa Kabinet Sastroamijoyo
Pada masa itu, banyak sekali terutama
masalah seperti pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Selain itu,
masalah korupsi yang semakin meningkat dan kemunduran ekonomi sehingga
menurunkan tingkat kepercayaan dari masyarakat juga semakin memperkeruh keadaan.
Berbagai masalah lainnya juga menjadi alasan utama, seperti masalah Irian
Barat, Pemilu bahkan juga skandal korupsi di tubuh PNI sendiri juga menjadi
alasan utama. NU, tidak puas terhadap kinerja kabinet di
segala lini, baik secara personel, di bidang ekonomi dan keamanan yang
didalamnya terdapat konflik antara NU dan PNI. Sehingga pada puncaknya pada
tanggal 20 Juli NU mengutus para menteri yang ada di dalam kabinet untuk
mengundurkan diri dan keluar dari Kabinet. Tindakan NU ini kemudian diikuti
oleh parta-partai lainnya. Keadaan lemahnya Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini
kemudian mendorong Masyumi untuk menggulirkan mosi tidak percaya pada bulan
Desember mengenai ketidakpercayaan pada kebijakan Pemerintah. Melihat keadaan
kabinet yang tak kondusif ini, PKI kemudian meredam kecaman-kecaman terhadap
korupsi dan masalah ekonomi sebagai imbalan atas perlindungan PNI. Ali
Sastroamijoyo sendiri kemudian mengembalikan mandatnya pada tanggal 18 Juni.
Kemudian karena dukungan dari DPR tidak mencukupi, empat hari kemudian Ali pun
mengunfurkan diri dan Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini mengembalikan mandatnya
pada tanggal 24 Juli 1955.
5.
Kondisi
Rakyat Ketika Pemilu Pertama Kali pada Kabinet Burhanudin Harahap
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29
September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih
konstituante). Sekitar 39 juta rakyat berpartisipasi dalam pemilu ini. Pemilu
berlangsung sangat demokratisTerdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi
hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang
memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
6.
Analisis Gerakan Assaat pada Masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Analisis Gerakan Assaat pada Masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Gerakan Assaat adalah salah satu usaha yang dilakukan
pemerintah untuk menguatkan ekonomi nasional yakni memperkuat kelas ekonomi
menengah pribumi yang umumnya bermodal lemah dengan cara memberikan
perlindungan khusus terhadap segala aktifitas usaha pada bidang perekonomian
termasuk dalam hal persaingan dengan pengusaha asing (secara umum) dan
persaingan dengan warga keturunan Cina (secara khusus).
Gerakan Asaat ini didukung penuh pemerintah. Salah
satu buktinya adalah pernyataan resmi pada Oktober tahun 1956 yang menegaskan
bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus untuk para pengusaha
Pribumi.
Sayangnya kebijakan ini memicu reaksi negatif yakni
munculnya kalangan yang membenci keturunan Cina. Kebencian ini bahkan berujung
pada permusuhan serta pengrusakan aset masyarakat keturunan Cina.
7.
Alasan Terdapat Deklarasi Juanda dan Kaitannya dengan Teritorial Muncul Pemberontakan PRRI Permesta
Alasan Terdapat Deklarasi Juanda dan Kaitannya dengan Teritorial Muncul Pemberontakan PRRI Permesta
Program
pokok dari Kabinet Djuanda adalah :
Programnya
disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya,
programnya yaitu :
1. Membentuk
Dewan Nasional
2. Normalisasi
keadaan Republik Indonesia
3. Melancarkan
pelaksanaan Pembatalan KMB
4. Perjuangan
pengembalian Irian Jaya
5. Mempergiat/mempercepat
proses Pembangunan
Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang
terjadi di daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah
ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil
atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Djuanda yaitu mengatur kembali
batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur
mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan
telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan
merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang
bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam
masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk
menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
Mengadakan
Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah.
Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan
angkatan perang, dan pembagian wilayah RI
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk
mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI), dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang
pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat
bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan
satu brigade. Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen
Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para
perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa
dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi
ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi
terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat
yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya
dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat
pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah
(mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama dengan ratusan perwira aktif dan
para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX Banteng yang telah
dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai
Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng.
Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi
politik, maka KASAD melarang perwira‑perwira AD untuk ikut dalam dewan
tersebut. Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan
dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan
Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan
secara maksimal.
Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra
Barat, di Medan terdapat juga Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin
Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan
juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol
Barlian.
Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena
ada pengaruh dari PKI terhadap pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan
terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan tersebut diperparah dengan
pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam
pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak
mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru
yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet
PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang
melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958,
Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam
Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno
supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala
akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu
dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
- Mendesak kabinet Djuanda supaya
mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
- Mendesak pejabat presiden, Mr.
Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional
yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
- Mendesak kabinet baru tersebut diberi
mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang.
- Mendesak Presiden Soekarno membatasi
kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
- Jika tuntutan tersebut di atas tidak
dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan
sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI
membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan
Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari PERMESTA dan
rakyat setempat.
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang
berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam
Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT
VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok
PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua
kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa
pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan
Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor
Gerungan.